Rajin Mengkritik Tapi Malas Itu Budaya Kita, Ya?

26/03/2020 1295 view Jogja Dulu mojok.co

Entah hanya saya saja yang berpikiran seperti ini atau mungkin ada yang juga sepemikiran dengan saya. Makin hari sepertinya masyarakat kita semakin ringan lidah dan tangannya untuk mengkritik. Entah tahu topik yang dikritik atau tidak, intinya kasih kritik aja dulu, tau topiknya belakangan.

Saya melihat kritik ini sudah seperti gorengan, mudah ditemui di mana saja. Di politik ada, di agama ada, di pendidikan ada, di ekonomi ada, di bidang militer ada, bahkan di bidang seni juga ada. Saya tidak mendiskreditkan soal kritik yang katanya bertujuan baik untuk membuat seseorang berkembang. Ya, saya paham dan saya sangat mendukung terkait tujuan kritik yang seperti itu. Cuma yang saya heran, kenapa hampir setiap hari yang saya lihat (ini yang saya lihat loh, ya) di berbagai sisi kehidupan kita saat ini, selalu yang muncul kritik, kritik, dan kritik.

Saya sering mencari-cari celah bernama apresiasi di tengah gelombang kritik yang merajalela. Apresiasi ada, cuma tidak banyak. Kalah pamor dibanding kritik. Kalaupun ada yang mengapresiasi, kebanyakan dari kalangan buzzer. Itu tentu bentuk apresiasi yang saya kecualikan.

Saya mungkin bisa menyebut saat ini masyarakat kita sedang krisis apresiasi. Terlalu rajin mengkritik tapi juga terlalu malas mengapresiasi. Bangsa kita memang menjunjung persatuan Indonesia dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Hanya saja sekarang kebanyakan masyarakat hanya bersatu untuk menghasilkan kritik dan tidak pernah sadar bahwa kritik akan adil jika disertai dengan apresiasi. Tapi apa? Masyarakat kita tidak pernah adil terkait aktivitas mengapresiasi.

Ketika membahas pemerintahan, saya yakin bahas apa pun yang berkaitan dengan pemerintah, hasilnya kebanyakan kritik daripada apresiasi. Ketika membahas pendidikan, yang ada cuma polemik yang ujungnya sama, kritik. Membahas agama, walau terkesan topik sensitif. Hasilnya sama saja, tetap ada yang melakukan kritik. Beralih bicara seni, lagi-lagi ujungnya sama, masih ada kritik soal puisi A bagus dan puisi B bukanlah karya sastra. Jika ditanya satu-satu, kita mungkin lupa bagaimana caranya mengapresiasi.

Ketika saya melihat heboh-heboh soal sebuah karya seni yang diciptakan Putri Marino. Semakin tampak jelas bahwa kritik seolah menjadi budaya yang sangat dibanggakan selain perilaku korupsi. Bagaimana mungkin ketika sebuah karya seni yang saya yakin diciptakan dengan tidak mudah, dengan entengnya dikritik hanya karena isinya tidak sesuai selera si pembaca. Padahal ada proses berpikir, menggerakkan tangan, merangkai kata, merangkai kalimat bahkan mengirimnya ke editor. Dan itu semua tidak mudah.