Cerita Jogja Dulu, Air Mancur Yogyakarta
Yogyakarta - Bagi warga Yogyakarta yang berumur 40 yahun ke atas, pasti mengenal nama Air Mancur. Letaknya di tengah jantung kota Yogyakarta.
Di kawasan simpang empat Kantor Pos Besar tyau sekarang dikenaldengan sebuat Titik Nol Kilometer. Bagi yang lahir hingga tahun 1980-an, nama Air Mancur masih bisa dikenal dan diingat. Namun bagi generasi yang lahir di tahun 90-an hingga sekarang nama itu tidak dikenal. Mungkin hanya dapat cerita dari orang-orang yang lebih tua.
Generasi milenial hanya mengenal Titik Nol Kilometer saja dengan ornamen batu andesit seperti yang terluhat saat ini.
Saat browsing di Google dan media lainnya, kamui mendapatkan 2 foto soal Air Mancur Yogyakarta. Foto pertama tahun 1950-an. Foto ini kalau dilihat sepertinya karya dari Iphos dengan caption Angkatan Perang RI akan menuju Makam Semaki (TMP Kusuma Negara) konvoi dari Alun-alun Utar
Foto kedua, diperkirakan sekitar tahun 1970-an. Dari kedua foto bentuk Air Mancur tidak berubah hanya ada sedikit tambahan ornamen di sekelilingnya saja.
Cerita Air Mancur di tahun 1970-1980-an, masih banyak diingat oleh bnyak orang. Sejak dulu kawasan itu selalu ramai dengan berbagai aktivitas.
Mobil dan angkutan umum pasti akan melewati tempat itu. Sebab hingga tahun 1970-an Stasiun Bus AKDP dan AKAP masih berada di Jl Srwiedani sebelum pindah ke THR hingga Terminal Umbulharjo.
Bahkan ketika Shoping Center (Sekarang Taman Pintar) berdiri di awal tahun 1980-an, bus malam luar kota tujuan Jakarta, Bogor, Bandung masih melewatinya.
Cerita soal Air Mancur yang masih banyak dikenang bukan soal air yang mancur atau muncrat ke atas tiap hari hari. Karena termasuk kawasan ramai waktu itu air mancur banyak dimanfaatkan gelandang, pengemis atau kere untuk aktivitas mandi hingga mencuci pakaian.
Dulu kalau ada kere mandi atau orang cuci pakaian di air mancur belum atau petugas semacam Satpol PP yang melarang.
Karena di pakai mandi dan cuci oleh Pemkot zaman Walikota Ahmad sempat dipasang jeruji besi yang menuju permukaan kolam air mancur. Namun ya tetap bisa untuk cuci saat air muncrat ke atas.
Dari sisi keramaian lalu-lintas dari arah utara Malioboro, dulu masih bisa lewat di jalur lambat persis di depan Gedung Agung hingga pojok Senisono.
Mobil dan motor tetap berada di jalur sekarang ini. Sedangkan becak dan sepeda di sisi barat atau di plaza pojok barat depan gedung Senisono.
Bila lampu lalu-lintas menyala semua kendaraan pasti akan melewati/setengah memutar air mancur.
Banyak rang yang mengingat soal Air Mancur. "Aku kelingan," ungkap Ngatiyar.
"Aku yo kelingan, wong cilikanku omah neng Gondomanan," kata Joko "Kobong" Teguh Santoso.
Bahan untuk membuat kolam air mancur berdasarkan catatan sejarawan Eka Hadiyanta bahan dasar kolam menggunakan batu andesit. Setelah dibongar batu andesit itu diselamatka oleh BPCB DIY.
"Air mancur itu yang dari bahan batu andesit kemudian di bawa ke BPCB Yogya. Tahun 2000-an kemudian dipasang di barat Sungai Opak. Di Taman Wisata Prambanan," katanya.
Secara terpisah salah seorang warga Kecamatan Kraton, Tedy Kartyadi mengungkapkan soal adanya pagar teralis besi di air mancur.
Menurtnya ada masa sebelum tahun 1970-an air mancur tidak ada pagarnya. Namun setelah tahun 70-80-an sudah diberi pagar teralis besi.
"Di foto itu belum dikasih teralis pagar. Selain sudah ada padar, dulu kalau malam air mancur juga disorot dengan lampu aneka warna, jadi air yang mancar terlihat warna-warni kalau malam<" katanya.
"Ada juga air mancur anakan (kecil) yang berada di kiri kanan jalan tengah di Alun-alun Utara, sebelah utara Ringin Kurung," lanjut Tedy.
Lain lagi diungkapkan oleg Ganjar Gj juga warga Yogya, dalam ingatannya air macur sering juga dijadikan tempat mandi dan cuci pakaian oleh gelandangan yang bisa tiduran di gedung Senisono.
Senisono dulu merupakan gedung tempat berbagai acara kesenian digelar dan kumpul para seniman. Bila malam hari dimanafaatka seniman hingga gelandangan untuk istirahat. Mandi dan cuci para para gelndangan di kolam itu.
Pakaian yang di cuci kemudian dijemur di sekeliling oagar besi. Bahkan dalam foto di linimasa terlihat seorang gelandangan dengan rambut gondrong tengah mencuci pakaian.
Cerita lain diungkapkan Soni Blanterang de Rosari asal NTT. Ia menceritakan sekitar yahun 1981 ia masuk Jogja. Pada awal bulan Mei dalam ingatannya.
"Ada titipan yang harus sya bawa ke saudara di sekitar Pasar Ngasem. Pas lewat air mancur, kecipratan dan saya kira hujan. Tanya sama tukang becaknya eh langsung ditunjuk air mancur sambil senyum-senyum. Ya, rada isin. Kok ora ngerti. Tapi waktu itu becaknya juga rada panjang terpale," kenang Soni.
Selain air mancur, warga Yogyakarta juga mengingat di sekitar itu ada lampu lalu-lintas yang digantung serta adanya halte bus. Sebab dulu terminal bus di Jl Sriwedani sehingga hampir semua kendaraan umum lewat.
"Ada stopan gantung dan omah munyuk (pos jaga polisi dari kayu)," ungkap Dwikoens dan Kusdiyanto Koestidjo.
"Dulu juga ada halte ABC di timur Kantor Pos," ungkap Arief Surip Sabana.
Menurutnya ABC itu merek batarai yang legendaris saat aloran listrik belum banyak dan warga masih menggunakan baterai ABC untuk radio, senter dan lain-lain. Banyak halte dan reklame ABC.
Sementara itu Ani Fatimah warga Puwodiningratan Kecamatan Ngampilan menceritakan. Dulu waktu kecil tiap sore sering diajak bapak dan ibunya ke tempat Air Mancur hanya sekadar agar mau makan sambil jalan-jalan.
Karena di sekitar Air Mancur juga banyak sekolah SD dan SMP, Rosa Lisyandari menceritakan dulunya sekolah di SD Pangudi Luhur (PL) sehingga hampir tiap hari lewat.
Ia pun mengenangnya karena saat ini sudah tak ada lagi. "Sangat merindukannya. Saya dulu SD PL, wetane air mancur. Makanya sangat merindukannya," kenang Rosa.
"Jaman cilik. Masih inget Air Mancur dan Seni Sono," Benni Listyo menceritakan.
Bagi Sudaryanto warga Wirobrajan yang sekolah di SMP 3 Yogyakarta dari tempat sekolah di Jl Pajeksan, bersama teman-temannya tiap pulang sekolah selalu lewat air mancur.
Bila cuaca panas sepulang sekolah di sekitar depan Gedung Agung ada pedagang es tape gosrok. Pemjual es tape waktu itu banyak ditemui mulai dari Gejaman Pasar Beringharjo, di bawah pohon rindang Gedung Agung hingga Jl Senopati Shoping Center.
Selain itu kawasan itu juga menjadi tempat umtuk istirahat sejenak baik yang berjalan dari arah utara Malioboro dan selatan dari Alun-alun Utara.
"Ngalor (ke utara) sithik ono bakul es tape, ngarep Gedung Agung. Koyoe koe wes tau tak jajake (sepertinya kamu pernah ku ajak jajan," ungkap Gudel panggilan akrabnya Sudaryanto.
Namun bagi orang luar Yogya seperti Ketut Epi asal Bali kelahiran tahun 1980 yang saat ini menetap di Yogyakarta mengaku baru tahu kalau ada Air Mancur di pusat kota.
"Aku lahir tahun 80, tapi baru tau kalau dulu ada air mancur disi," kata Epi.
Air mancur dirobohkan atau dihilangkan sekitar tahun 1985-an seiring meningkatkan jumlahnya kendaraan dan arus lalu-lintas.
Air mancur hilang, tidak ada lagi kere, gelandangan yang mandi di tempat itu.
Kini hanya tinggal kenangan. Air Mancur yogya tidak ada lagi. Orang mulai lupa nama itu. Generasi sekarang mengenalya dengan sebuat Titik Nol Kilometer. (Bagus Kurniawan)