Pasar Sepeda di Yogya Riwayatmu Dulu

29/05/2020 1075 view Jogja Dulu Bagus Kurniawan/Cerita Jogja

Yogyakarta - Di tahun 1970-1980-an Yogyaarta dikenal sebagai kota sepeda. Namun kini sebuatan Kota Sepeda sudah hilang karena tergerus laju perkembangan transportasi sepeda motor.

Dulu para penglaju atau orang-orang yang bekerja di Kota Yogyakartaterutama dari Bantul sebagian besar menggunakan sepeda. Mereka bersepeda dari arah slatan menuju utara masuk kota.

Ada yang melewati Jalan Bantul, Jalan Parangtritis, Jalan Imogiri Timur, Jalan Imogiri Baras dan lainnya. Hingga ada sebutan kalau para Penglaju dari Bantul itu pasti warna pipinya beda. 

Pipi sebelah kanan dengan kiri berbeda. Pipi sebelah kanan lebih hitam atau lebih coklat dibanding pipi kiri. Karena mereka berangkat pagi saat matahari bersinar dari timur. 

Kemudian pulang saat matahari di seblah barat, sehingga hanya pipi kanan yang lebih banyak terkena sinar. Itu dulu sekarang sudah tidak lagi karena para pekerja sudah banyak pakai sepeda motor sekarang.

Bercerita soal Sepeda di Yogyakarta sekitar tahun 1970-1990-an, dulu ada banyak pasar sepeda. Pasar sepeda pertama yang muncul pertama diantaranya di halaman depan Puro Paku Alaman sejak tahun 1960 hingga akhir tahun 1970-an.

Saya hanya menyarikan beberapa dokumentasi percakapan dengan beberapa orang pedagang sepeda yang tentunya sudah sepuh-sepuh. Dokumentasi ini saya buat sejak tahun 2010-an. 

Ada beberapa nara sumber yang sudah meninggal dunia saat ini seperti (alm) Mbah Diro, (alm) Mbah Wir, (alm) Mbah Pudjo. Terimkasih jua kepada Mah Ngatidjo Kalibayem, Mbah Naryo, Mbah Pandi, Mbah Mardjo dan lain-lain.

Sejarah sepeda onthel di Yoyakarta terutama sepeda bekas yang masih bisa terlacak dari nara sumber lisan adalah pasar sepeda di Pakualaman, Pasar Sepeda GAPPSTA PUgeran, Pasar Tunjung Pakel.

Sedangkan toko sepeda yang pertama kali muncul sebagian besar di kawasan Malioboro hngga Jl Ahmad Yani. Kemudian Jl Ngabean KH Ahmad Dahlan, Jl Kintelan atau Brigjen Katamso. Toko sepeda yang di Malioboro yang sekarang masih eksis adalah Alam Mabru. Beberapa toko sudah tutup dan berganti juaan lain seperti barang elektronik hingga akhir tahun 1990-an. Bahkan di tahun 1980-an ada sudah berganti jualan sepeda motor asal Italia. Namun sekarang juga sudah tutu. 

Pasar sepeda Pakualaman dulunya di lapangan Sewandanan ini hampir setiap hari rama pedagang dan pembeli. Pasar sepeda Pakualaman ini sekitar tahun 1978  kemudian dipindah ke Pasar Terban.

Para sepeda di Terban juga hanya bertahan hingga awal tahun 1990-an. Kini sudah tak ada lagi.  
Kemudian ada lagi pasar sepeda GAPPSTA di Pigeran Jl MT Haryomo. Ketiga di Pasar Tunjung, Pakel Jl Menteri Supeno, Umbulharjo. 

Baik Pasar sepeda GAPPSTA dan Pasar Tunjung sampai saat ini masih ada, hanya saja sudah tidak seramai dulu. Pasar sepeda ini hanya akan ramai saat tahun-tahun ajaran baru. Para pedagang pun juga sudah berkurang dan sebagian sudah berusia lanjut.

Keempat di kios Brantan, di Jalan Wahid Hasyim, Ngampilan. Kios Pasar Brantan ini selain berjualan sepeda bekas juga menjual aneka onderdil sepeda, bengkel sepeda, becak, bengkel las dan lain-lain. 

Kios ini kemudian pada awal tahun 2000-an kemudian direlokasi di halaman parkir bekas Stasiun Ngabean disisi selatan.

"Kalau dulu Pasar Sepeda Pakualaman rama sekali. Hampir semua pembli jujugannya ke sini," ungkap Mbah Diro kepada penuli sekitar tahun 2011 saat mencritakan situasi pasar sepeda di Yogya dan Klaten.

Mbah Diro yang saat ini sudah almarhum sempat menceritakan dirinya dari  wilayah Trucuk Klaten rela bersepeda menuju Yogya. Berngkat pagi sekitar pukul 05/00 dan pulang pukul 14.00 WIB. 

Ia rela menmpuh jarak 120 PP dari rumah ke pasar sepeda Pakualaman 2 har sekali. 

"Sepeda-sepeda yang saya jual, sebagian sudah saya titipkan di sesama bakul, tinggal mengecek saja mana yang laku," katanya.

Menurutnya harga sepeda nekas merek Humber, Raligh dames atau perempuan sekitar Rp 50 ribu sampai 80 ribu. Tergantung kondisinya. Kalau baru di atas Rp 100 ribu," katanya.

"Yang mahal tetap sepeda merek seperti Gaselle, Simplex," lanjut Mbah Diro yang hingga akhir hayatnya menekuni jual sepeda di Pasar Pedan Klaten.

Ia tidak lagi berjulana sepeda di Yogya setelah pasar sepeda Pakualaman berpindah ke Terban. Ia kemudian lebih banyak berjualan di pasar Pedan, sesekali ke pasar Klaten. Namun beberapa pedagang sepeda dari Klaten, Delanggu hingga Solo masih banyak mengambil sepeda darinya.

"Kalu dulu itu ibaratnya datang ke satu pasar, pembeli sudah datang sendiri. Sekarang lain, pedagang yang justru mencari pasar," ungkapnya.

Maksudnya kata dia, pedagang harus tiap hari datang ke pasar sesuai hari pasar.

Gantian bakul sing nggoleki pasare," katanya.

Hal serupa juga diungkapkan Mbah Pudjo warga Sleman. Toko-toko sepeda di Yogya hingga tahun 1970-an berpusat di kawasan Malioboro, Jl Ngabean atau KH Ahmad Dahlan.

Di Malioboro itu ada Ban Tjin LIong, di Ngabean ada toko Semeru, toko Salam di di Brantan juga toko lama," kata Mbah Pudjo kepada penulis tahun 2010.

Kalau toko-toko sepeda di Jl Kintelan (Brigjen Katamso) itu baru ramai setelah tahun 1980-an," katanya.

Ia juga menceritakan soal keberadaan pasar klithikan yang menjual berbagai onrderdil sepeda di Jl Ngabean di depan kantor Balai Kota lama, Pasar Brantan dan los pasar Beringharko di dekat Ketandan.

"Tiga tempat itu yang ramai dan Tamansari kalau malam hari," katanya.

"Dulu bakul sepeda itu setiap hari hanya datang ke satu tempat. Yogya yang paling ramai adalah Pasar sepeda Pakualaman. Saya seminggu bisa 3 kali ke sana," ungkap Mbah Diro pedagang sepeda di pasar pedan.

Menurut dia, dulu pedagang sepeda satu hari bisa menjual 1-2 sepeda. Semuanya pasti laku karena orang pakai motor masih jarang. Situasi tidak seperti sekarang ini, telah berubah sepeda jumlahnya semakin sedikit. Sementara itu jumlah sepeda motor semakin banyak.

"Bakul atau pedagang sepeda sekarang malah yang mengejar pasar," kata Mbah Diro mengenang kejayaan sepeda waktu itu.

Menurutnya jarak yang jauh tidak menjadi masalah waktu itu karena masih muda berumur 30 tahun sehingga jarak 50 km dari rumahnya masih bisa dilalui tanpa capek. 

"Dulu sepeda yang dijual kita titipkan sesama pedagang yang punya kios di Yogya, tidak perlu di bawa pulang," katanya.

Sekarang ini katanya, situasi telah berubah. Semua pedagang sepeda yang selalu mendatangi pasar-pasar sepeda di beberapa tempat sesuai hari pasaran. Istilahnya bakul ngoyak (mengejar) pasar. 

Pasaran Pon dan Legi di Pasar Prambanan, pasaran Kliwon di Pasar Klaten Kota, Delanggu di Pasar Cawas. Sedangkan pasaran Wage di Pedan. Pasaran di Yogya, pasaran Pon di Pasar Godean. Lasaran Legi di Pasar Pandak dan Gumulan. Sedangkan pasaran Kliwon di Pasar Bantul dan Sorobayan Sanden dll.

Toko sepeda di Yogyakarta hingga tahun 1970-an berpusat di Malioboro, Pecinan, Jl Ngabean (KH Ahmad Dahlan), Jl Kintelan (Brigjen Katamso) dan Jl Tugu Kulon (Diponegoro).

Pusat klithikan menurut (alm) Pudjo Hartono atau Mbah Pudjo sadel pada tahun 1960-1970-an ada di depan bekas Balaikota lama di Jl Ngabean (KH Ahmad Dahlan) atau sekarang gedung Punokawan. 

"Kalau toko-toko yang menjual sepeda baru di Jl Ngabean, Pecinan dan Malioboro. Kios-kios sepeda pasar Brantan lebih banyak menjual sepeda bekas pakai dan onderdil sepeda bekas," Kata Mbah Pudjo yang dulu berdagang dan menerima servis sadel di Jl Agus salim depan pintu masuk Ndalem Notoprajan Ngampilan.

Menurut dia di sepanjang jalan depan kantor balaikota lama itu ada banyak pedagang klitikan onderdil bekas yang berjualan sejak pagi hingga sore hari. Selain itu, klitikan juga terdapat di depan Puro Pakualaman di Jl Sultan Agung.

Sedangkan pasar klitikan malam hari, ada di Jl Letjen Suprapto, Tamansari. Di Pasar klitikan Tamansari pedagang berjualan mulai dari simpang empat hingga timur jembatan Kali Winongo atau Soto Pak Marto Tamansari. (Bagus Kurniawan)