Cerita Sirine dan Omah Cilik Es Petojo di Jogja
Yogyakarta - Di pojok selatan perempatan Macanan Lempiyangan dengan Jalan Mas Suharto selatan pasar terdapat sebuah sirine dan bangunan kecil dari kayu.
Apa fungsi dua bangunan itu. Menurut beberapa warga sekitar sirine ini sudah ada sejak zaman Belanda. Ini merupakan bangunan bersejarah yang terlupakan.
Warga menyebutnya sirene itu sebagai gauk seperti yang masih ada d dekat Pasar Beringharjo dan Plengkung Gading.
Sedangkan bagunan yang disebut Omah Cilik disebuat bangunan tempat menampung es batu dari Pabrik Es Sari Petojo. Ternyata pabrik es ini tidak hanya ada di Solo, Pacitan dan Cilacap saja.
Di Jogjakarta juga ada namun jejak-jejaknya masih perlu dicari lagi. Tidak banyak yang tahu bila ada pabrik es batu bernama Petojo.
Padahal di Jogjakarta pernah ada pabrik es batu yang cukup besar yakn di depan Pasar Pathuk di Jl Bhayangkara dan Ngampilan di Jl Letjen Suprapto. Namun keduanya sudah almarhum alias tutup.
Kembali ke soal mah Cilik, bangunan ini selain di Kampung Macanan Lempuyangan juga ada di sebelah utara Stasiun Tugu yang sekarang dikenal kawasan angkringan Kopi Jos.
Dari sisi sejarah, keberadaan gardu atau omah cilik ini dibuat pada zaman Belanda. Fungsinya untuk pos jaga keamanan. Selain itu di dekatnya pasti ada sirine atau gaook yan berfungsi sebagai tanda bahaya saat ada serangan udara.
Diperkirakan sirine ini dibangun paa awal tahun 1940 sebelum Perang Dunia (PD) II atau sebelum Tentara Jepang datang ke Indonesia atau Hindia Belanda.
Sirine ini di Kota Jogjakarta terpasang diantaranya di kampung Macanan Lempuyangan, depan bekas bioskop Permata, Plengkung Gading, Pasar Beringharjo dan Hotel Tugu di dekat Stasiun Tugu.
"Ini gauk Lempuyangan sama seperti gauk di Beringahrjo," kata Alfiah, penjual gorengan yang ada didekat tempat itu.
Omah cilik ini disebuat Omah Petojo untuk menampung es batu yang dijual di tempat itu. Namun soal cerita ini masih perlu ditelusuri lagi.
Mengingat sekitar kampung Lempuyangan hingga Bausasran banyak rumah-rumah bergaa Indies peninggalan Belanda. Ruamh-rumah itu dulunya banyak dihuni warga Indo Eropa dan tentar KNIL. Mereka juga banyak yang meninggalkan Yogyakarta saat ibukota RI berpindah di Yogya. Mereka ada yang pindah ke kota lain seperti Magelang, Semarang hngga Jakarta.
Bisa jadi sirine ini dulu juga berfungsi penjagaan dan dibunyikan pada jam-jam tertentu. Mengingat kawasan itu banyak dihuni keluarga tentar KNIL.
Kondisi bangunan omah Cilik yang terbuat dari kayu jati itu masih baik, hanya saja dicat warna kuni. Sedangkan tiang sirine dari besi juga sudah diganti besi pelat yang baru.
Sementara itu menurut Kuswanto yang dulu orang tuanya tinggal di dekat gaook Lempuyangan menceritakan dulunya gaook itu pada zaman Belanda dibunyikan waktu pagi dan sore hari menjelang maghrib. Setelah maghrib warga tidak boleh ada yang keluar rumah.
"Itu namanya gaook sejak zaman Belanda, rumahku dekat situ dan dulu tiap maghrib dibunyikan," katanya.
Hal itu juga dibenarkan oleh Yudhah Prakoso yang tinggal tak jauh dari tempat itu yakn di Kampung Bausasran. Dalam kenangan waktu kecil tiap menjelang buka puasa gaook dibunyikan.
"Dulu tiap mau buka puasa selalu dibunyikan," kenang Yudhah.
Sedangkan omah cilik itu lanjut Kuswanto berfngsi untuk pos jaga. Namun setelah Indonesia merdeka omah itu ada kemungkina tak digunakan lagi sehingga kemudian jadi tempat penampungan penjualan es batu.
"Sekarang rumah itu jadi warung makanan sederhana," kat Kuswanto.
Menurut Alfiah sirine ini masih berfungsi, meski tiang penyangga dari besi sudah diganti. Untuk membunyikan sirine menggunakan aliran listrik.
Ini ceritajogja soal sirine atau gaook dan omah cilik yang ada di Kota Jogjakarta yang nyaris terlupakan. (Bagus Kurniawan)